Pada tahun 2013, saya menuju Jakarta
untuk mengikuti sebuah acara selama dua hari. Karena acara itu tidak disediakan
tempat menginap, dan kalau pun menginap sangat mahal disebabkan hotel berbintang.
Maka malam pertama setelah sehari acara itu, saya tidur di mushola hotel dan
diperbolehkan. Bayangkan saja hanya satu malam saja untuk menginap saja ( belum
konsumsinya ) kita harus merogo kocek 310.000 rupiah. Sebuah angka cukup besar
untuk ukuran menginap, lebih lebih fasilitasnya biasa saja, hanya televisi dan
kamar mandi sebagai tambahan Kasur empuk.
Jarak yang jauh dengan tempat
tinggal tentu tidak ingin singkat saja di situ. Saya memutuskan untuk sebulan
di Jakarta. Tidak peduli harus menginap dimana dan mengeluarkan konsumsi tidak
sedikit.
Akhirnya saya memutuskan untuk
menginap sejenak di sebuah madrasah dan teman saya tinggal dan mengajar di
situ. Terletak di pusat ibukota, yaitu Monas, sekitar situ masuk ke dalam
sedikit. Intinya masih wilayah perkotaan.
Di situ saya mencoba mencari
berbeda. Saya selalu sholat di masjid dekat situ. Biasanya masjid ibukota
melarang orang mana pun untuk menginap di masjid disebabkan dikhawatirkan
kebersihan masjid terganggu. Untuk itu, setiap habis sholat isya, pasti dikunci
sebagai tanda tidak boleh dibuat untuk menginap.
Saya berkenalan dengan orang orang
tua di situ yang sangat tua. Umur mereka rata rata 70 tahun. Dan setelah saya
telusuri, mereka tinggal di masjid situ, di lantai 2 masjid.
Karena diperbolehkan menginap di
situ, saya pun mencoba menginap di situ sekaligus mengenal lebih jauh sosok
mereka. Dan apa yang terjadi, membuat saya sangat mengelus dada.
Mereka tidak menikah dan kemungkinan
kecil tidak disebabkan umur yang sudah menua. Mereka tidak punya rumah. Hanya masjid
saja sebagai rumah mereka. Yang lebih menyedihkan lagi, masjid itu tidak
memiliki kloset untuk buang air besar. Mereka tidak mempunyai pekerjaan. Mereka
menggantungkan nasib pada bantuan orang yang mau membantu mereka.
Untuk makan sehari hari, mereka
bekerja sebagai penjaga parkir illegal, maksud saya wilayah parkir sembarangan
dan selalu berpindah. Mereka hanya menanak nasi di situ sedang lauknya iuran
beli di warung luar.
Mengapa saya sampaikan ini ?
Kita mengenal Jakarta adalah kota
dengan beaya hidup tinggi dan juga serba sulit untuk bertahan hidup. Untuk makan
satu kali saja, harus merogo kocek cukup besar disbanding wilayah lainnya.
Tapi masih ada saja orang sangat
memilukan. Bayangkan, sudah tempatnya susah, yang bekerja dengan gaji UMR pun
masih kesulitan makan, apalagi mereka yang tidak punya pekerjaan, dengan usia
senja, hanya mengandalkan tempat ibadah sebagai tempat tinggal.
Bisa saja pengurus masjid itu merasa
risih, lalu mendepak mereka dengan alasan kebersihan. Semuanya bisa terjadi.
Hikmah yang bisa saya ambil :
1.
Dimana
pun orang selalu bisa SURVIVE. Kalau kita manusia, kita bisa bertahan hidup.
2.
Jangan
salahkan daerah, diri, semua orang, bahkan Tuhan. Mereka tidak bersalah, karena
pikiran Anda yang membatasi diri Anda.
3.
Syukuri,
karena Anda masih lebih beruntung
4.
Turunkan
rezim yang tidak pro wong cilik. Masihkah anda bilang, siapa pun pemimpinnya,
kita cari makan sendiri. Oh ya ? Anda bisa bilang begitu. Bagaimana dengan
orang orang yang kurang beruntung ? Yang mengandalkan pemerintah untuk hidup ?
5.
Gunakan
usia muda penuh potensi, agar kelak masa tuamu sejahtera
Nalis, Jumat 3 Juli 2015