Diberdayakan oleh Blogger.

Semilir Angin Pantai

Ah, perasaanku sendu. Pikiran tiba-tiba mengarah ke suatu alam lain. Aura pantai tak sedikit pun dirasa. Mataku agak memburam. Aku tak merasakan belaian angin yang tampak berhembus kencang. Sementara ombak bergemuruh. Di jauh di tepian pantai, ombak besar berkobar siap menggulung apa pun di dekatnya. Di sekelilingku sebuah perahu tampak rusak. Yang kuheran, perahu tampak seperti milik pamanku. Perahu itu rusak parah dan terbelah dua. Aku semakin terheran. Sebenarnya ada apa ini ?

Kudengar di kejauhan sebuah teriakan terdengar sangat keras. Tapi teriakan itu berada di tengah laut. Aku menduga para nelayan marah karena seorang asing menangkap hiu. Ikan hiu sering terperangap di jaring nelayan, lalu dibawa pulang. Kemudian induk hiu marah dan sesekali mendekati pantai untuk mengakibatkan kekacauan. Aku berjalan pelan. Seolah berjalan di alam lain, tapi aku jelas di sini. Oh, apa yang terjadi. Mengapa aku tak bisa merasakan belaian angin itu. Mengapa aku tak bisa merasakan getaran keindahan alam yang menawan di mata ini. Seperti para malaikat bersiap membawaku terbang tinggi ke langit.

Kulihat beberapa nelayan duduk lesu di atas bongkahan kayu. Angin pantai tampak menampar tubuh mereka. Kepala mereka tertunduk lesu. Tidak ada saling komunikasi di antara mereka. Tapi kudengar mereka menangis lirih. Aku berjalan mendekati mereka. Air mata mereka meleleh membasahi pipi.
" Lek, mengapa lek menangis ?' ucapku pelan.
Tapi mereka tidak membalas. Aku berada di depan mereka. Tapi mereka tak merasakan kehadiranku. Aku menepuk bahunya. Ia masih tertunduk. Aku pun berteriak keras. Tapi mereka semakin menangis keras. Apa yang terjadi ? Oh apa yang terjadi ?



Aku berlari menuju rumahku. Kampungku seolah kampung mati. Hanya sesekali kulihat orang duduk di depan rumah. Lagi - lagi mereka tertunduk lesu. Aku menyapa mereka. Tangis mereka semakin kencang.
" Lek, ada apa ini ? Kenapa lek tidak bisa mendengar saya."
Aku berlari menuju rumah. Tampak kerumunan orang berdiri lesu. Kepala mereka tertunduk. Sesekali mereka menangis. Aku paling tidak tahan melihat orang menangis. Kupegang bahu masing masing dari mereka. Tapi mereka juga tak merasakan kehadiranku. Aku pun berjalan menuju rumah. Paman duduk lesu sambil meneguk segelas teh. Ia berlayar bersamaku juga teman temannya tadi. Tapi aku sekalipun tidak ingat apa yang terjadi sehingga aku berada di pinggir pantai. Aku mencoba membuka lembaran memori memori tadi. Tapi hasilnya nihil.

" Lek, Bu, Pak, sampeyan nangis ?"
Mereka tidak juga menjawab. Tiba tiba wajah mereka berdiri tegak. Dan seketika gemuruh tangis meledek. Pasang mata mereka tertuju ke arah luar, ke arah pintu yang terbuka. Tangis mereka meledak. Aku semakin panik. Apa yang terjadi ? Apa yang terjadi ?
" Kenapa jadi seperti ini hiks ... hiks ... hiks ... !!! " teriak pamanku sambil menangis keras.

Aku berdiri, lalu membalikkan badan. Tampak sebuah keranda diangkat empat orang dengan kepa la menunduk. Keranda itu dibuka, seketika mereka berlari memeluknya sambil menangis keras.
" Nasibmu Nang ... Nasibmu Nang ... Nasibmu Nang .. hiks ..hiks... hiks .."

Aku berjalan mendekati keranda itu. Dan tubuhku merinding. Tubuh yang berada di dalam keranda itu milikku.

Story By Nalis
Share this article :
Print PDF
 
Support : Nalis Theme | Nalis Design | Nalis Website
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ichwan Navis - All Rights Reserved
mastemplate
Distributed By Blogger Templates | Design By Creating Website