Diberdayakan oleh Blogger.

Aku Dan Profesor Cantik


Pintu masuk Hotel Kartika terbuka lebar. Aku dan Profesor Lestari masuk secara perlahan. Mama dan papa menyuruhku datang ke hotel ini. Mereka berdua ingin membicarakan sesuatu padaku. Dan aku mengajak profesor cantik itu untuk menemui mereka berdua. Aku ingin mereka tahu bahwa dirinya calon isteriku, sekaligus niat untuk menikah secepatnya.

Hawa dingin terasa kental disini, berbeda dengan di luar. Di luar hotel, panas menjelma tajam. Kebisingan merajalela. Lalu polusi kentara di setiap titik. Aku merasa enjoy di dalam hotel ini. Sebuah ruangan kaca tampak dekat di pelupuk mata. Mama dan papa tampak jelas sedang duduk berdampingan di atas sofa putih. Mereka berdua sedang meneguk segelas jus jeruk. 

Aku membuka pintu kaca. Hawa dingin semakin terasa kental. Aku memancarkan senyum pada mereka berdua, begitu pula wanita cantik di sampingku. Papa dan mama tersenyum kecut. Mereka menegakkan dagu mereka berdua. 


“ Silakan duduk Prof. Senang bisa bertemu dengan Anda kembali,” himbau mama halus.
Aku pun duduk di atas sofa empuk. Profesor Lestari duduk di sampingku. Ia menegakkan wajah, sambil tersenyum pada mama dan papa. Aku mencoba lebih tenang.

“ Ada apa sebenarnya Yuda dan profesor datang kesini. Kami berdua nanti ada acara. Sekarang kami hanya punya waktu kurang lebih setengah jam disini. Kalau ada perlu bantuan, kami bantu, Prof. Sampaikan saja keluh kesah Anda. Kami menghormati Anda sebagai dosen Yuda,” ucap papa penuh wibawa.

Aku tersenyum tipis. Kulirik mama. Ia memicingkan mata. Ia masih melihat cincin emas dipakai oleh Profesor cantik itu. Ia sedikit berada dalam luapan emosi.

“ Mama dan papa, sebenarnya Yuda kesini ingin menyampaikan sesuatu. Dan Yuda dan Profesor Lestari berharap mama dan papa tidak menolak keputusan kami berdua. Kami....” ucapku tertatih-tatih.
“ Bilang aja, Yuda. Aku ini papamu. Kalau perlu bantuan, tinggal ngomong. Gitu aja kok susah,” respon papa.
Aku menutup kedua mata. Ada angin keberanian menyelimuti diri. kubuka kedua mata. Aku menarik napas panjang.
“ Yuda ingin menikah...” ucapku pelan.
Papa dan mama tertawa pelan.
“ Yuda, kamu ingin menikah. Apa papa tidak salah dengar. Umurmu baru secuil jagung, baru dua puluh tahun,” respon papa sambil menggelengkan kepala.
“ Pa, umur tidak menjadi masalah. Lagipula Yuda sudah besar. Sudah bisa hidup mandiri. Yuda sudah tidak manja lagi,” ucapku sedikit terbuai dalam emosi.
“ Yuda, kamu ternyata sudah tidak sabar menanti moment itu. Baiklah, mama akan segera bilang pada keluarga Pak Hartanto,” tegas mama sedikit dalam luapan emosi.
“ Mama dan papa, Yuda sudah punya calon isteri yang akan mengarungi hidup bersama Yuda,” ucapku tegas.
Mama semakin terbuai dalam emosi. Mukanya memerah. Napasnya tersendat-sendat.
“ Lalu siapa calon isterimu itu ?” tanya mama dengan tegas.
“ Dia sangat cantik dan cerdas. Dia juga punya tutur bicara halus, membuat sejuk hati Yuda. Dan itulah yang membuat Yuda jatuh hati padanya. Yuda ingin hidup bersamanya dalam bahtera rumah tangga. Sekaligus merenda anak-anak bersamanya.”
“ Lalu siapa dia ?” tanya mama dengan pandangan melotot.
“ Namanya Profesor doktor Mahmudah Dewi Lestari Phd. Dia seorang profesor doktor lulusan Universitas Harvad di Amerika. Dan sekarang dia duduk di sampingku sekarang.”
Mama tersenyum kecut. Ia tersentak kaget.
“ Yuda, kamu jangan bercanda !” tambahnya terheran.
“ Ma, Yuda tidak bercanda. Kami berdua saling mencintai. Dan kami berdua ingin segera menikah. Mohon restu dari mama dan papa. Yuda sangat memohon sekali mama dan papa merestui hubungan kami,” ucapku penuh penghayatan.
“ Berapa umur Anda, Prof ?” tanya mama pelan.
“ Tiga puluh tujuh tahun,” jawab Profesor Lestari pelan.
“ Sudah jelas perbedaan usia antara kalian berdua cukup jauh. Mama dan papa tidak setuju kalian berdua menikah. Keluarga kita terpandang di negeri ini. Mana mungkin anak seorang pengusaha kaya menikah dengan gadis seusia begitu. Malah mungkin orang menyangka kamu menikahi janda. Mama dan papa tidak setuju, sangat tidak setuju,” ucap mama penuh emosi.

“ Profesor Lestari, sebaiknya Anda mencari pemuda lain selain Yuda. Saya mengira Anda kurang cocok dengan Yuda, mengingat perbedaan usia jauh diantara Anda dan Yuda. Kalau hal ini terjadi, akan ada banyak gosip miring tentang kami. Media massa dan elektronik akan saling berebut untuk mengambil berita ini. Lalu dibuat isu-isu tidak benar tentang keluarga kami. Dan kami tidak ingin hal itu terjadi. Tidak diragukan intelektual Anda, saya sama sekali tidak meragukannya. Tapi tolong jangan dengan anak saya. Anak saya masih butuh kemajuan sedikit untuk melangkah kedepan. Tolong pahami perasaaan kami,” ucap papa halus.

Kulirik Profesor Lestari. Ia menunduk sambil menitiskan air mata. Mukanya memerah. Wajahnya pucat. Suara tangis terdengar lirih. Aku mencoba menyangkal ucapan mereka berdua.
“ Mama dan papa pasti ingin Yuda bahagia, bukankah begitu. Dan sekarang Yuda menemukan cinta sejati pada dirinya, terasa begitu dalam di lubuk hati Yuda. Tolong jangan kecewakan Yuda,” ucapku penuh harap.

Mataku berkaca-kaca. Aku menangis kencang dalam hati. Aku mencoba meluapkan isi hati kedalam kata-kata.
“ Tolong bahagiakan Yuda, Ma Pa. Yuda sudah susah payah menemukan tambatan hati. Dan sekarang mengapa Anda berdua tega mencampakkan cinta kami berdua. Kami berdua hanya ingin restu dari Anda berdua. Itu saja, hanya itu saja.”
Mereka berdua seakan tak menghiraukan ucapanku. Wajah mereka berdua mengarah ke wajah profesor cantik itu.
“ Prof, tolong tegakkan wajah Anda,” himbau mama dengan halus.
Profesor Lestari menegakkan wajah. Matanya basah oleh air mata. Ia berusaha tersenyum tipis. Aku menelan ludah. Aku merasa hatinya tercabik-cabik oleh kata-kata mama dan papa.
“ Prof, bisa lihat cincin yang Anda pegang. Kelihatannya sama seperti punya saya. Dan saya memberinya kepada Yuda. Saya ingin bertanya pada Anda. Apa cincin emas itu pemberian dari Yuda ?” tanya mama penuh senyuman.

Profesor Lestari mengangguk. Mama tersenyum kecut. Ia seperti ingin menghajar profesor cantik itu dengan kata-kata.
“ Prof, cincin emas itu sengaja dibeli hanya untuk kekasih Yuda, bukan untuk gadis lain. Tolong jangan tersinggung dulu. Saya tidak marah Anda memakainya. Tapi saya minta tolong pada Anda untuk mengembalikan cincin itu pada Yuda. Karena calon tunangannya sudah menunggu. Saya merasa kasihan padanya karena ia sudah menunggu lama. Dan sekarang saat tepat bagi Yuda untuk bertunangan dengan gadis itu. Dia sangat kaya dan cerdas, juga muda. Dia baru berumur sembilan belas tahun, lebih muda satu tahun dari Yuda. Dan sangat cocok bagi Yuda.”
Mama terdiam sejenak.
“ Dia sangat cocok untuk Yuda. Dia satu masa dengannya saat ini. Masa remaja yang penuh dengan liku-liku cinta. Masa-masa mencari identitas diri, yang penuh dengan kesenangan dalam pergaulan. Mereka berdua sangat cocok. Berbeda dengan kita, Prof. Kita memasuki masa pendewasaan kehidupan yang sebenarnya. Kita sudah seharusnya hidup dalam bahtera rumah tangga. Saya dan suami saya mengalami berbagai macam problematika hidup berumah tangga. Namun saya menyikapi penuh ketenangan. Saya tidak terkaget dengan semua itu. karena saya telah memasuki masa itu.”

Profesor Lestari menunduk. Air mata menetes deras ke lantai. Dadanya sesak oleh tangis. Raut wajahnya memucat. Mukanya memerah. Suara tangisnya terdengar keras. Sementara diriku masih tak percaya dengan sikap kedua orang tua. Aku menekan kuat gigi-gigiku. Suasana hening tercipta. Hawa dingin terasa kental di sini, menusuk sumsum tulang.

Ia melepaskan cincin emas dari jari manisnya dengan perlahan. Lalu ia menaruhnya  di atas meja kaca. Ia menarik napas panjang. Wajahnya masih pucat. Matanya basah oleh air mata.
“ Terima kasih, Nyonya. Kalau boleh tahu, calon tunangan Yuda itu orang mana ?” tanyanya lirih.
Mama tersenyum lebar. Ia menegakkan dagunya tinggi.
“ Dia orang Jakarta. Dia seorang anak seorang pengusaha kaya raya. Ayahnya sahabat suamiku. Dan beliau punya jaringan bisnis di luar negeri, sangat banyak.”
Profesor Lestari menutup mata sambil mengangguk. Tiba-tiba ia berdiri dengan tegap. Ia menatap lunak mama dan papa. Lalu ia memancarkan senyum indah.
“ Terima kasih banyak telah memberitahu banyak tentang Yuda. Juga memberi pelayan di tempat mewah ini. Saya mohon pamit. Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih,” ucapnya berlinang air mata.

Ia berjalan cepat menjauhi ruangan. Ia membuka pintu ruangan. Tubuhku bergetar hebat. Emosiku meluap tinggi. Aku berdiri, lalu berlari mengejarnya. Napasku tersendat-sendat.
“ Yuda, berhenti !” teriak mama penuh emosi.
Aku mengerem laju lari. Darahku seakan naik drastis. Aku mengepalkan kedua tangan. Aku membalikkan badan. Dada terasa sesak oleh luapan emosi. Aku berkata dengan lantang,
“ Mama tidak tahu perasaan Yuda sebenarnya. Coba jika Anda berdua menjadi Yuda seperti sekarang ini. Sudah susah payah Yuda menemukan cinta sejati. Mengapa Anda berdua tega menghancurkan impian Yuda ? Tolong jawab !”
Aku membalikkan badan. Lalu aku berlari mengejar kekasihku. Terdengar bunyi keras hentakan sepatu di belakang. Mama dan papa berlari kencang mengejarku. Kulihat Lestari membuka pintu hotel dengan cepat. Aku berlari cepat mengejarnya.
“ Lestari ! Tunggu aku !” teriakku dengan lantang.
Aku tidak peduli berapa banyak orang mendengar teriakan. Aku terus berlari dengan kencang. Dan ia berlari kencang. Ia menghantam polusi udara di depan. Aku menutup hidung dengan tangan. Keringat membasahi sekujur tubuh. Sinar mentari terasa membakar kulit. Ia juga tampak kelelahan.
“ Lestari, tunggu aku. Jangan tinggalkan aku.”
Ia tidak juga berhenti berlari.
“ Lestari, kumohon jangan tinggalkan aku. Jangan percaya ucapan mama dan papa. Ucapan mereka itu bohong. Cintaku tulus hanya padamu.”
Aku berhasil meraih lengannya. Tapi ia melepas dengan kasar. Aku tersentak kaget. Ia menangis keras. Matanya tampak basah oleh air mata. Aku berdiri di depannya. Kulentangkan kedua tangan.
“ Lestari, aku tidak akan menghindar sebelum kau percaya ucapanku. Ucapan mama dan papa itu tidak benar. Mereka memang menjodohkan diriku dengan gadis pilihan mereka. Tapi aku belum mengenalnya sedikit pun. Dan aku menolak, karena cintaku hanya untukmu. Tolong jangan tinggalkan aku, Lestari. Jangan percaya ucapan mereka. Kita pertahankan keutuhan cinta itu dari badai rintangan.”
Ia hanya merespon dengan tangis. Ia berlari kencang keluar hotel. Aku berlari mengejarnya. Tapi tiba-tiba seseorang memegang erat kedua tanganku dari belakang. Aku tersentak, lalu menoleh ke belakang. Pak Fahrozi menangkapku dengan kasar.
“ Apa-apaan ini !” teriakku.
“ Maaf, Tuan muda. Ini perintah dari Tuan Indra dan isterinya.”
Aku menutup kedua mata. Emosiku meluap drastis. Aku berteriak keras,
“ Jangan halangi aku !”
Aku membalikkan badan, lalu melancarkan tendangan ke arah perutnya. Ia terpental ke arah tanah. Aku menghembuskan napas panjang. Keringat bercucuran deras membasahi tubuh.
“ Maaf, Pak. Sekali lagi, Maaf. Bapak tidak tahu perasaan saya yang sebenarnya. Saya sedang mengejar cinta saya yang tersakiti. Coba pikirkan jika bapak menjadi diri saya, tentu bapak akan mengalami rasa sakit sangat dalam di hati. Tolong jangan halangi saya, Pak. Terima kasih.”
Aku berlari kencang menuju luar gerbang. Aku berdiri di pinggir jalan. Kulihat Lestari sedang menyeberang jalan raya. Aku mencoba menyeberang jalan. Mobil-mobil datang silih berganti. Aku berlari secepat mungkin. Sementara Lestari telah berada di pinggir jalan.
“ Lestari, tunggu aku. Jangan tinggalkan aku. Lestari, kumohon, kumohon jangan tinggalkan aku.”
Sebuah metromini datang menghampirinya. Ia menoleh ke arahku. Air matanya deras membasahi pipi. Ia naik metromini itu. Aku sampai di pinggir jalan. Metromini berjalan cepat menembus kepulan asap hitam di depan. Aku berlari kencang sambil menutup hidung.
“ Lestari ! Berhenti ! Tolong jangan tinggalkan aku !”
Air mataku deras membasahi pipi. Aku berlari kencang mengejar metromini itu. Stamina terkuras drastis. Keringat bercucuran deras membasi sekujur tubuh. Kedua kaki serasa ingin lumpuh. Tiba-tiba sepatuku menghantam sesuatu, terasa keras. Aku tidak bisa menahan keseimbangan tubuh. Tubuhku melayang ke depan, lalu terpental ke tanah. Aku tergeletak tidak berdaya. Sementara metromini terus  berjalan. Aku menangis lirih di tengah terik mentari yang menyengat kulit.

Nalis, 26 Agustus 2014


Share this article :
Print PDF
 
Support : Nalis Theme | Nalis Design | Nalis Website
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ichwan Navis - All Rights Reserved
mastemplate
Distributed By Blogger Templates | Design By Creating Website