Diberdayakan oleh Blogger.

Sang Pujangga Dan Bapak



Ia berjalan di pinggir jalan. Ia menghantam polusi tinggi. Mobil-mobil bertebaran di jalan raya. Kebisingan pun merajalela, terasa memecah gendang telinga. Tapi lelaki separo baya itu terus berjalan. Terik sinar panas mentari seakan tidak dihiraukan. Keringatnya bercucuran deras membasahi tubuh dan pakaian. Aroma tidak sedap menyebar dari tubuhnya. Ia berjalan sedikit membungkuk. Usia yang sudah menua menjadi penyebab. Banyak orang mengamatinya. Rasa iba pun mencul. Mereka tidak tega melihat penampilan lelaki separo baya itu, juga cara berjalannya. Tapi mereka membiarkannya begitu saja.

Ia bertanya pada orang-orang di sekitarnya tentang anaknya. Tapi mereka hanya menggelengkan kepala. Lelaki separo baya itu sedikit kecewa. Rasa lapar dan haus terasa menganggu perjalanannya. Ia merasa perlu mengganjal. Tapi uang di sakunya menipis. Ia tidak mampun membeli sepotong roti pun. Lalu ia melanjutkan perjalanan dengan rasa lapar dan haus yang menghantui.

Sekelompok pemulung tampak duduk-duduk di bawah jembatan. Mereka sedang memakan sisa-sisa makanan di dalam sampah. Sesekali mereka mengeluarkan isi sampah, lalu mengambil  sisa-sisa makanan, lalu memakannya. Rudi menghampiri sekelompok pemulung itu. Dan mereka menyambutnya penuh kehangatan. Rudi duduk bersama mereka. Rasa lapar sudah tidak dapat dibendung. Mereka bersuka ria menyantap hidangan basi itu. Rudi tidak menghiraukan rasa makanan itu. Ia sudah cukup puas mengganjal perutnya.

Salah seorang pemulung berkata,
“ Bukankah kamu seorang penjual sayur keliling yang sering melewati jalan ini ?”
Lelaki separo baya itu menjawab,
“ Ya, benar. Aku sekarang sedang mencari anakku.”
“ Siapa dia ?”
“ Dia seorang pemuda berwajah indah berseri-seri. Bahkan pancaran wajahnya seperti sinar rembulan. Orang akan terkagum melihat paras pemuda yang menawan hati itu. Tubuhnya indah kekar. Rambutnya hitam lurus dan pendek. Namanya Tegar. Apa kamu pernah melihatnya dan mengetahui keberadaannya ?”
“ Aku tidak tahu nama itu. Tapi aku melihat seorang pemuda dengan ciri-ciri fisik yang kamu sebutkan tadi. Dia terus berjalan sambil melantunkan syair-syair pada seseorang, tampaknya pada kekasihnya. Dan banyak orang di sekitar memanggilnya pujangga. Aku merasa pemuda itu seperti tidak waras. Tapi banyak orang menyangkalnya. Dia masih berakal, kata mereka.”

Mendengar ucapan pemulung itu, lelaki setengah baya itu tersentak. Ia memegang erat kedua bahu pemulung itu. Napasnya berdesis kencang. Rasa penasarannya semakin memuncak. 

“ Dimana terakhir kali kamu melihatnya ? Benar sekali, dia itu anakku, seorang pujangga muda. Banyak orang memanggilnya pujangga karena dia pandai merangkai kata. Tolong beritahukan padaku. Aku sangat mencemaskan dirinya. Dirinya bagai permata berlian berharga bagi diriku dan isteriku. Aku rela menyerahkan seluruh hartaku padanya, pada seorang pujangga kesayanganku dan isteriku,” pinta Rudi penuh harap.

Pemulung berwajah penuh debu itu terkesima dengan pengharapan lelaki separo baya itu. Rasa iba pun muncul. Aroma tidak sedap tidak dihiraukan olehnya dari lelaki separo baya itu. Ia mengambil napas panjang. Ia menjawab secara perlahan,

“ Aku lihat terakhir kali dirinya berada di jembatan dekat sini. Dia senang memandangi sungai penuh lamunan. Aku menyapanya, tapi ia tidak membalas. Ia terus melamun. Sesekali ia melantunkan syair-syair indah tentang seorang gadis pujaannya. Itu saja yang aku tahu. Dan sekarang aku tidak tahu dirinya masih berada di sana atau tidak. Aku sarankan kamu segera menuju ke sana. Siapa tahu dia masih berada di sana. Cepatlah.”

Rudi langsung berdiri. Ia berjalan dengan tertatih-tatih menuju sebuah jembatan dekat titik itu. Kelelahan hebat terasa di tubuh. Panas semakin menyengat kulit. Kedua kaki sudah tidak kuat lagi, terasa berat untuk dilangkahkan. Ia pun sampai di atas jembatan itu. Sebuah sungai berair keruh tampak dipenuhi sampah-sampah. Lelaki separo baya itu baru tersadar bahwa sungai itu menghubungkan ke tempat tinggalnya. 

Ia melihat ke seluruh sudut jembatan itu. Hanya mobil-mobil dan motor tampak bertebaran. Kebisingan pun semakin menjadi-jadi. Rudi tampak kecewa. Ia menuju ke ujung jembatan. Ia melihat pemandangan sungai itu. Tiba-tiba dadanya berdebar kencang. Tidak berselang lama, kedua matanya berkaca-kaca. Ia melihat anak kesayangannya duduk manis di pinggir sungai. Pemuda itu menatap air sungai yang dipenuhi sampah itu. 

Rudi langsung bergegas menuju ke pinggir sungai. Ia melangkahkan kaki menuju ke tanah yang lebih menjorok ke bawah. Dengan bersusah payah, ia sampai di belakang anaknya. Ia menghembuskan napas panjang. Ia berjalan perlahan mendekati anaknya. Sesaat berselang, anaknya berteriak keras seolah berbicara dengan sungai kumuh itu,

Luka di hati semakin merisaukan

Namun kau  kunjung mengabaikan

Tapi dirimu sudah tak tergantikan

Lalu mengapa hati ini kau campakkan


Air mata meleleh deras membasahi pipi Rudi. Ia seolah memahami perasaan anaknya. Ia tahu anaknya sekarat karena cinta. Dan cintanya pada gadis itu terasa mencabik-cabik hatinya. Rudi berjalan menghampirinya. Ia menyentuh bahu anaknya dengan lembut.
“ Anakku....” ucapnya pelan.
Pujangga itu menoleh ke belakang. Wajah dan rambutnya tampak berdebu, tidak terurus. Rudi semakin sesak oleh tangis. Aroma tubuh pujangga itu terasa menyengat hidung bapaknya, tapi terkalahkan oleh rasa rindu yang menyiksa. Pujangga itu mengerutkan kening. Sesaat berselang, ia tersenyum lebar. Bapaknya menangis haru. Ia berkata penuh isakan tangis,
“ Bagaimana kabarmu, Anakku ?”
Pujangga itu tersenyum lebar.
“ Mengapa bapak ke sini. Tegar sedang mendalami arti cinta, Pak. Dan Tegar ingin menenangkan diri di sini, sambil meratapi kisah cinta yang seolah sudah tertimbun reruntuhan bangunan itu.”
Bapaknya semakin memegang erat kedua bahu anaknya.
“ Anakku, apa gadis itu mengkhianati cintamu ?” tanya Rudi dengan halus.
Tegar menggelengkan kepala.
“ Tapi kenapa syair-syairmu menunjukkan kekecewaanmu pada gadis itu ? Bukan hanya bapak saja yang mendengar, banyak orang yang mengatakan hal demikian. Mengapa anakku ?” tanya bapaknya kembali.
Tegar tersenyum tipis.
“ Bapakku, Tegar ingin menenangkan diri. Jiwa Tegar sekarang terasa sakit. Dan Tegar tidak ingin diganggu. Sebaiknya bapak kembali ke rumah bersama ibu. Pak, Tegar benar-benar terpikirkan oleh gadis itu. Hanya dia seorang yang mengisi pikiran Tegar. Rasa cinta padanya diluapkan dalam syair-syair yang didengar oleh alam dan seisinya. Dan Tegar ingin hal itu terwujud. Entah apa yang mereka bilang pada Tegar. Tegar tidak akan pernah menghiraukan. Yang terpenting, mereka berada dalam kebahagiaan menyimak syair-syair Tegar di tengah kondisi derita Tegar.”
Tegar mengambil napas sejenak. Ia melanjutkan,
“ Bapakku, gadis itu sama sekali tidak menyakiti hati Tegar. Dia benar-benar tulus mencintai Tegar. Hanya saja kedua orang tuanya sangat keberatan merestui hubungan Tegar dengan gadis itu. Dan sekarang bapak pulanglah. Tegar benar-benar ingin menenangkan diri. Pulanglah, Pak. Kehadiran Tegar di sana hanya akan menyengsarakan bapak dan ibu. Pikiran Tegar sudah terombang-ambing. Hanya gadis itu yang mengisi hati Tegar. Jika Tegar mentari, maka gadis itu langit. Jika gadis itu api, maka Tegar asap. Jika gadis itu dedaunan, maka Tegar batang dan rantingnya. Cinta Tegar padanya seolah membekaas di raga, tidak mungkin bisa dipisah. Dan bapak tidak akan bisa memisah cinta kami.”
Bapaknya menitiskan air mata. Ia melepas pegangan. Ia tertunduk lesu. Ia berkata dengan lirih,
“ Nak, ibu terus memikirkan keadaanmu. Ibumu ssering sakit-sakitan mencemaskan keadaanmu. Apa kamu tega melihat ibumu seperti itu. Pulanglah, Nak. Ibumu sangat mencemaskan keadaanmu.”
Tegar menunduk lesu. Bapaknya menambahkan,
“ Nak, apa dengan terus memeras pikiranmu itu bisa mengembalikan gadis itu padamu. Bukankah itu bukan jalan terbaik. Mengapa kamu tidak menemuinya, lalu mengajaknya keluar dari rumah, lalu kamu bisa bercinta dengan sesuka hati dengan gadis itu. Baiklah, kalau begitu bapak akan pergi menemui kedua orang tua gadis itu, lalu bapak akan menawarkan perjodohan antara gadis itu dan dirimu. Itulah satu-satunya jalan mengembalikan semangatmu dalam hidup.”
Pujangga itu semakin bingung. Ia mengacak-acak rambutnya, lalu berteriak keras. Teriakannya sangat keras, memecah keheningan. Lalu ia berlari menjauhi bapaknya. Ia berlari meninggalkan luka yang dalam di hati bapaknya. Sedangkan bapaknya merasa sudah tidak kuat lagi mengejarnya. Kedua kakinya terasa lumpuh. Tapi ia berusaha keras mengejar anaknya. Ia mengulurkan kedua tangannya ke depan. Ia berteriak keras,
“ Tunggu, Anakku. Bapak akan memberi yang terbaik untukmu.”
Rudi berlari perlahan. Ia merasa tenaganya telah habis. Ia terjatuh seketika. Aroma sampah semakin menambah sedih dirinya. Ia membalikkan badan. Sinar panas mentari semakin menghantam deras tubuh, menyilaukan kedua mata. Air mata meleleh deras membasahi pipi. Kesedihan dalam terasa di hati.
“ Anakku, cintamu sudah mengakar kuat. Bapak dan ibu seakan sudah tidak bisa menyembuhkan penyakitmu itu...hiks...hiks...hiks...” ucapnya lirih.

Nalis 






Share this article :
Print PDF
 
Support : Nalis Theme | Nalis Design | Nalis Website
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ichwan Navis - All Rights Reserved
mastemplate
Distributed By Blogger Templates | Design By Creating Website