Ia
berjalan di pinggir jalan. Ia menghantam polusi tinggi. Mobil-mobil bertebaran
di jalan raya. Kebisingan pun merajalela, terasa memecah gendang telinga. Tapi
lelaki separo baya itu terus berjalan. Terik sinar panas mentari seakan tidak
dihiraukan. Keringatnya bercucuran deras membasahi tubuh dan pakaian. Aroma
tidak sedap menyebar dari tubuhnya. Ia berjalan sedikit membungkuk. Usia yang
sudah menua menjadi penyebab. Banyak orang mengamatinya. Rasa iba pun mencul.
Mereka tidak tega melihat penampilan lelaki separo baya itu, juga cara
berjalannya. Tapi mereka membiarkannya begitu saja.
Ia
bertanya pada orang-orang di sekitarnya tentang anaknya. Tapi mereka hanya
menggelengkan kepala. Lelaki separo baya itu sedikit kecewa. Rasa lapar dan
haus terasa menganggu perjalanannya. Ia merasa perlu mengganjal. Tapi uang di
sakunya menipis. Ia tidak mampun membeli sepotong roti pun. Lalu ia melanjutkan
perjalanan dengan rasa lapar dan haus yang menghantui.
Sekelompok
pemulung tampak duduk-duduk di bawah jembatan. Mereka sedang memakan sisa-sisa
makanan di dalam sampah. Sesekali mereka mengeluarkan isi sampah, lalu mengambil
sisa-sisa makanan, lalu memakannya. Rudi
menghampiri sekelompok pemulung itu. Dan mereka menyambutnya penuh kehangatan.
Rudi duduk bersama mereka. Rasa lapar sudah tidak dapat dibendung. Mereka
bersuka ria menyantap hidangan basi itu. Rudi tidak menghiraukan rasa makanan
itu. Ia sudah cukup puas mengganjal perutnya.
Salah
seorang pemulung berkata,
“ Bukankah
kamu seorang penjual sayur keliling yang sering melewati jalan ini ?”
Lelaki
separo baya itu menjawab,
“
Ya, benar. Aku sekarang sedang mencari anakku.”
“
Siapa dia ?”
“
Dia seorang pemuda berwajah indah berseri-seri. Bahkan pancaran wajahnya
seperti sinar rembulan. Orang akan terkagum melihat paras pemuda yang menawan
hati itu. Tubuhnya indah kekar. Rambutnya hitam lurus dan pendek. Namanya
Tegar. Apa kamu pernah melihatnya dan mengetahui keberadaannya ?”
“
Aku tidak tahu nama itu. Tapi aku melihat seorang pemuda dengan ciri-ciri fisik
yang kamu sebutkan tadi. Dia terus berjalan sambil melantunkan syair-syair pada
seseorang, tampaknya pada kekasihnya. Dan banyak orang di sekitar memanggilnya
pujangga. Aku merasa pemuda itu seperti tidak waras. Tapi banyak orang
menyangkalnya. Dia masih berakal, kata mereka.”
Mendengar
ucapan pemulung itu, lelaki setengah baya itu tersentak. Ia memegang erat kedua
bahu pemulung itu. Napasnya berdesis kencang. Rasa penasarannya semakin
memuncak.
“
Dimana terakhir kali kamu melihatnya ? Benar sekali, dia itu anakku, seorang
pujangga muda. Banyak orang memanggilnya pujangga karena dia pandai merangkai
kata. Tolong beritahukan padaku. Aku sangat mencemaskan dirinya. Dirinya bagai
permata berlian berharga bagi diriku dan isteriku. Aku rela menyerahkan seluruh
hartaku padanya, pada seorang pujangga kesayanganku dan isteriku,” pinta Rudi
penuh harap.
Pemulung
berwajah penuh debu itu terkesima dengan pengharapan lelaki separo baya itu.
Rasa iba pun muncul. Aroma tidak sedap tidak dihiraukan olehnya dari lelaki
separo baya itu. Ia mengambil napas panjang. Ia menjawab secara perlahan,
“
Aku lihat terakhir kali dirinya berada di jembatan dekat sini. Dia senang
memandangi sungai penuh lamunan. Aku menyapanya, tapi ia tidak membalas. Ia
terus melamun. Sesekali ia melantunkan syair-syair indah tentang seorang gadis
pujaannya. Itu saja yang aku tahu. Dan sekarang aku tidak tahu dirinya masih
berada di sana atau tidak. Aku sarankan kamu segera menuju ke sana. Siapa tahu
dia masih berada di sana. Cepatlah.”
Rudi
langsung berdiri. Ia berjalan dengan tertatih-tatih menuju sebuah jembatan
dekat titik itu. Kelelahan hebat terasa di tubuh. Panas semakin menyengat
kulit. Kedua kaki sudah tidak kuat lagi, terasa berat untuk dilangkahkan. Ia
pun sampai di atas jembatan itu. Sebuah sungai berair keruh tampak dipenuhi
sampah-sampah. Lelaki separo baya itu baru tersadar bahwa sungai itu
menghubungkan ke tempat tinggalnya.
Ia
melihat ke seluruh sudut jembatan itu. Hanya mobil-mobil dan motor tampak
bertebaran. Kebisingan pun semakin menjadi-jadi. Rudi tampak kecewa. Ia menuju
ke ujung jembatan. Ia melihat pemandangan sungai itu. Tiba-tiba dadanya
berdebar kencang. Tidak berselang lama, kedua matanya berkaca-kaca. Ia melihat
anak kesayangannya duduk manis di pinggir sungai. Pemuda itu menatap air sungai
yang dipenuhi sampah itu.
Rudi
langsung bergegas menuju ke pinggir sungai. Ia melangkahkan kaki menuju ke
tanah yang lebih menjorok ke bawah. Dengan bersusah payah, ia sampai di
belakang anaknya. Ia menghembuskan napas panjang. Ia berjalan perlahan
mendekati anaknya. Sesaat berselang, anaknya berteriak keras seolah berbicara
dengan sungai kumuh itu,
Luka
di hati semakin merisaukan
Namun
kau kunjung mengabaikan
Tapi
dirimu sudah tak tergantikan
Lalu
mengapa hati ini kau campakkan
Air
mata meleleh deras membasahi pipi Rudi. Ia seolah memahami perasaan anaknya. Ia
tahu anaknya sekarat karena cinta. Dan cintanya pada gadis itu terasa
mencabik-cabik hatinya. Rudi berjalan menghampirinya. Ia menyentuh bahu anaknya
dengan lembut.
“
Anakku....” ucapnya pelan.
Pujangga
itu menoleh ke belakang. Wajah dan rambutnya tampak berdebu, tidak terurus.
Rudi semakin sesak oleh tangis. Aroma tubuh pujangga itu terasa menyengat
hidung bapaknya, tapi terkalahkan oleh rasa rindu yang menyiksa. Pujangga itu
mengerutkan kening. Sesaat berselang, ia tersenyum lebar. Bapaknya menangis
haru. Ia berkata penuh isakan tangis,
“
Bagaimana kabarmu, Anakku ?”
Pujangga
itu tersenyum lebar.
“
Mengapa bapak ke sini. Tegar sedang mendalami arti cinta, Pak. Dan Tegar ingin
menenangkan diri di sini, sambil meratapi kisah cinta yang seolah sudah
tertimbun reruntuhan bangunan itu.”
Bapaknya
semakin memegang erat kedua bahu anaknya.
“
Anakku, apa gadis itu mengkhianati cintamu ?” tanya Rudi dengan halus.
Tegar
menggelengkan kepala.
“
Tapi kenapa syair-syairmu menunjukkan kekecewaanmu pada gadis itu ? Bukan hanya
bapak saja yang mendengar, banyak orang yang mengatakan hal demikian. Mengapa
anakku ?” tanya bapaknya kembali.
Tegar
tersenyum tipis.
“
Bapakku, Tegar ingin menenangkan diri. Jiwa Tegar sekarang terasa sakit. Dan
Tegar tidak ingin diganggu. Sebaiknya bapak kembali ke rumah bersama ibu. Pak,
Tegar benar-benar terpikirkan oleh gadis itu. Hanya dia seorang yang mengisi
pikiran Tegar. Rasa cinta padanya diluapkan dalam syair-syair yang didengar
oleh alam dan seisinya. Dan Tegar ingin hal itu terwujud. Entah apa yang mereka
bilang pada Tegar. Tegar tidak akan pernah menghiraukan. Yang terpenting,
mereka berada dalam kebahagiaan menyimak syair-syair Tegar di tengah kondisi
derita Tegar.”
Tegar
mengambil napas sejenak. Ia melanjutkan,
“
Bapakku, gadis itu sama sekali tidak menyakiti hati Tegar. Dia benar-benar
tulus mencintai Tegar. Hanya saja kedua orang tuanya sangat keberatan merestui
hubungan Tegar dengan gadis itu. Dan sekarang bapak pulanglah. Tegar
benar-benar ingin menenangkan diri. Pulanglah, Pak. Kehadiran Tegar di sana
hanya akan menyengsarakan bapak dan ibu. Pikiran Tegar sudah terombang-ambing. Hanya
gadis itu yang mengisi hati Tegar. Jika Tegar mentari, maka gadis itu langit.
Jika gadis itu api, maka Tegar asap. Jika gadis itu dedaunan, maka Tegar batang
dan rantingnya. Cinta Tegar padanya seolah membekaas di raga, tidak mungkin
bisa dipisah. Dan bapak tidak akan bisa memisah cinta kami.”
Bapaknya
menitiskan air mata. Ia melepas pegangan. Ia tertunduk lesu. Ia berkata dengan
lirih,
“
Nak, ibu terus memikirkan keadaanmu. Ibumu ssering sakit-sakitan mencemaskan
keadaanmu. Apa kamu tega melihat ibumu seperti itu. Pulanglah, Nak. Ibumu
sangat mencemaskan keadaanmu.”
Tegar
menunduk lesu. Bapaknya menambahkan,
“
Nak, apa dengan terus memeras pikiranmu itu bisa mengembalikan gadis itu
padamu. Bukankah itu bukan jalan terbaik. Mengapa kamu tidak menemuinya, lalu
mengajaknya keluar dari rumah, lalu kamu bisa bercinta dengan sesuka hati
dengan gadis itu. Baiklah, kalau begitu bapak akan pergi menemui kedua orang
tua gadis itu, lalu bapak akan menawarkan perjodohan antara gadis itu dan
dirimu. Itulah satu-satunya jalan mengembalikan semangatmu dalam hidup.”
Pujangga
itu semakin bingung. Ia mengacak-acak rambutnya, lalu berteriak keras.
Teriakannya sangat keras, memecah keheningan. Lalu ia berlari menjauhi bapaknya.
Ia berlari meninggalkan luka yang dalam di hati bapaknya. Sedangkan bapaknya
merasa sudah tidak kuat lagi mengejarnya. Kedua kakinya terasa lumpuh. Tapi ia
berusaha keras mengejar anaknya. Ia mengulurkan kedua tangannya ke depan. Ia
berteriak keras,
“
Tunggu, Anakku. Bapak akan memberi yang terbaik untukmu.”
Rudi
berlari perlahan. Ia merasa tenaganya telah habis. Ia terjatuh seketika. Aroma
sampah semakin menambah sedih dirinya. Ia membalikkan badan. Sinar panas
mentari semakin menghantam deras tubuh, menyilaukan kedua mata. Air mata
meleleh deras membasahi pipi. Kesedihan dalam terasa di hati.
“
Anakku, cintamu sudah mengakar kuat. Bapak dan ibu seakan sudah tidak bisa
menyembuhkan penyakitmu itu...hiks...hiks...hiks...” ucapnya lirih.
Nalis