Diberdayakan oleh Blogger.

Sang Pujangga

Roni mengajak sang pujangga berjalan menuju perkuburan bapak dan ibunya. Pujangga itu hanya menunduk. Ia merasa kehilangan semuanya. Setelah kehilangan kekasih hatinya, dirinya dikagetkan oleh berita kematian bapak dan ibunya. Sang pujangga itu merasa langit seolah runtuh, lalu menimpa dirinya. Ia merasa menjadi orang paling tidak beruntung di dunia. Ia juga merasa nasibnya tragis, seperti sudah jatuh ketimpa tangga, lalu masuk selokan. 

“ Tegar, seharusnya kamu mengutamakan kedua orang tuamu daripada cintamu pada gadis itu. Kamu terlalu berlebihan mencintai gadis itu,” ucap Roni dengan perlahan.

Ia menambahkan,
“ Gar, sungguh masih beruntung nasib jenazah bapak dan ibumu. Mereka berdua dikebumikan tanpa dikenakan beaya sedikit pun dari pihak keluarga, yaitu kamu. Sudah ada donatur yang bersedia membantu warga miskin atau kurang mampu. Donatur dari pemerintah setempat.” 


Mereka berdua memasuki area pemakaman. Awan-awan gelap menghiasi langit pagi itu. Sesekali guntur bergemuruh hebat. Kilat menghiasi langit dengan warna kuning keemasan, membentuk seperti akar tumbuhan. Tampak sepi area pemakaman itu. Angin berhembus kencang, menerpa dedaunan pepohonan. Dedaunan pun berguguran, tidak kuat menahan gempuran angin yang dahsyat. Rambut pujangga itu beterbangan, seolah ingin lepas dari kepala. Angin membawa debu-debu beterbangan, lalu menghantam wajah mereka berdua.

Roni menunjuk dua gundukan tanah yang masih baru. Dua batu nisan tampak bersampingan. Sang pujangga itu langsung berlari kencang. Tangis tidak dapat dibendung. Ia meraih dua gundukan itu, terasa masih baru. Ia menangis keras. Ia memanggil nama bapak dan ibunya.

“ Bu...Pak.....Bu....Pak.....Bu....Pak.....”

Ia menjerit-jerit seperti orang tak waras. Ia mencakar-cakar gundukan tanah itu, seolah ingin menggali tanah itu kembali. Roni langsung mencegahnya. Tapi sang pujangga itu meronta-ronta, menangis tiada henti. Awan-awan semakin menghitam. Sesaat berselang, air hujan pun datang dan langsung menghantam tubuh mereka berdua. Roni menghimbau pujangga itu untuk kembali ke rumahnya. Sang pujangga itu tak merespon. Ia masih meronta-ronta. Pakaiannya pun basah kuyup dan kotor terkena tanah basah.

Sang pujangga itu berdiri. Ia menjerit keras. Ia mencakar-cakar wajahnya. Roni pun tersentak melihatnya. Tubuhnya bergetar hebat. Rasa takut sedikit menyelimuti tubuh. Bulu kuduknya berdiri. Ia merasa pujangga itu sudah kehilangan akal sehat. Ia pun berjalan menjauhi dari pujangga. Dan sang pujangga itu berdiri. Sekujur tubuh dan pakaiannya tampak terlapisi tanah basah. Ia berjalan menjauh dari pemakaman itu. Hatinya benar-benar hancur. Ia merasa dunia telah memusuhinya. Ia merasa kehilangan semuanyaa, termasuk akal sehatnya. Tekanan batin begitu hebat menghantam dirinya. Dan dirinya benar-benar merana.

Ia berjalan tertatih-tatih di pinggir jalan. Sementara ia tidak menghiraukan air hujan yang mengguyur deras. Mobil-mobil bertebaran di jalan raya. Suara bising tidak membekas sedikit pun di telinga pujangga. Ia terus berjalan sambil membungkuk. Pikirannya hanya terfokus pada kegelapan yang datang menghantam dirinya. Ia merasakan air hujan seperti sengatan listrik yang menyiksa tubuhnya. Ia merasakan angin seolah guntur yang menampar tubuhnya. 

Air matanya mengering. Tapi rasa sedih belum sirna, malah semakin menjadi-jadi. Rasa sedihnya seolah menghancurkan seluruh bagian organ tubuh secara perlahan. Rasa sedihnya melumpuhkan seluruh organ tubuh. Ia berjalan perlahan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Hawa dingin seolah tidak membekas di tubuhnya. Ia melentangkan kedua tangan sambil menatap langit yang menggelap. Banyak orang mengamatinya. Rasa iba pun muncul pada diri mereka.

Ia berteriak keras di tengah guyuran hujan yang hebat,

Kaulah penguasa, kaulah segalanya
Jika kau samudera tanpa batas, maka aku secuil debu pasir
Jangan kau timpa aku dengan kisah sedih yang membara
Hatiku sungguh bagai pasir yang dihantam ombak besar
Aku tak kuat lagi menahan gempurannya
Karena itu aku minta secuil asa untuk bersabar

Suara pujangga itu begitu menggelegar. Suaranya seolah mengalahkan air hujan. Banyak orang mendengar kata-katanya . Mereka berteduh sambil menatap pujangga itu penuh rasa iba. Mereka tampak tersentuh oleh kata-kata manisnya.
Salah seorang dari mereka berkata,
“ Dia sedang menyinggung tentang Tuhannya.”
Salah seorang lain berkomentar,
“ Tidak, dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Ia menganggap dirinya segalanya, yang membuat dirinya merana dan merana. Ia menganggap dirinya telah memusuhi dirinya sendiri.  Ia menyerah pada dirinya sendiri. Kedua orang tuanya meninggal karena dirinya, lalu cinta sejatinya hilang seketika. Sehingga membuat batinnya menyiksa raganya, bahkan pikirannya. Lihat saja penampilannya, kasihan sekali. Dirinya benar-benar ditakdirkan untuk bersedih berkepanjangan. Kasihan sekali, kasihan sekali.”

Salah seorang lain berkomentar,
“ Aku mendengar kekasihnya itu anak gadis Pak Hermawan, seorang konglomerat yang terkenal itu.”
“ Benar sekali, kekasihnya mencintai sangat dalam. Tapi papa dan mamanya tidak menyetujui cinta mereka. Dan akhirnya, cinta mereka menyiksa mereka, bahkan melumpuhkan pikiran mereka. Aku tak bisa membayangkan bahwa cinta mereka begitu kuat dan dalam.”
“ Tapi aku mendengar bahwa kekasihnya telah bertunangan dengan pria lain pilihan papa dan mamanya.”
“ Benar sekali, bukan hanya itu, kekasihnya juga akan mengikat tali pernikahan dengan pada hari yang ditentukan. Aduh, kasihan sekali pujangga itu. Hatinya benar-benar merana. Aku merasa satu-satunya jalan untuk menghilangkan beban pikiran yang membelenggu dirinya adalah dengan menyatukan dirinya dengan kekasihnya. Dan itu menjadi jalan terbaik.”

Hujan mulai menipis. Awan-awan mulai terang kembali. Sinar mentari pun memancar cerah ke segala penjuru. Pujangga itu merasakan kehangatan seiring panas menjelma. Perutnya mulai bergetar hebat. Rasa lapar pun hadir. Tapi ia mencoba menahan sekuat tenaga. Ia berjalan tanpa tujuan yang jelas.
Ia berteriak keras,

Aku menyapa sang mentari
Dengan penuh sengatan di hati
Luka ini tiada bertepi
Dimanakah kau ini janji
Kau anggap aku ini seperti duri
Tapi aku tetap setia disakiti
Tolonglah aku
Tolonglah aku
Aku tak tahu harus kemana lagi
Janji, kemanakah engkau pergi

Ia terdiam sejenak. Ia menadahkan wajah ke atas, melihat sang mentari yang bersinar cerah. Ia mengambil napas dalam-dalam. Lalu ia berkata penuh linangan air mata,

Wahai mentari kau hadir setelah gelap
Dan gelap terhiasi sinar kelap-kelip
Kau bagai janji manis yang pernah terukir
Meskipun penghianatan yang hadir
Sinar cerah berkilauan di mata
Berubah menjadi duka tiada tara

Tiba-tiba seseorang menepuk bahu pujangga itu dari belakang. Sang pujangga pun membalikkan badan. Ia mengerutkan kening. Seorang lelaki kebapakan berjenggot lebat menatap tajam dirinya. Pujangga itu mengira bapaknya hidup kembali, lalu menyapanya sambil tersenyum tipis.
“ Bapak ?” ucap pujangga itu terheran.
Seorang lelaki itu menjawab,
“ Bukan, aku bukan bapakmu. Bapakmu sudah meninggal. Aku hanya ingin memberitahukan sesuatu padamu.”
“ Lalu apa itu ?”
“ Aku ingin memberitahukan padamu bahwa mantan kekasihmu telah melupakan dirimu. Dia telah menerima tunangan dari pemuda pilihan papa dan mamanya. Dan juga, aku ke sini sebagai utusan dari papa dan mama mantan kekasihmu itu untuk menyampaikan hal ini. Dalam beberapa hari ke depan, ia akan melangsungkan pernikahan. Dan satu lagi, papa dan mama mantan kekasihmu tidak akan menjebloskan dirimu ke dalam penjara. Karena kamu dianggap sudah bukan orang waras lagi. Jadi, kamu tidak terkena jalur pidana hukum. Seharusnya kamu harus berbangga..he...he....” jawabnya penuh meremehkan lawan bicara.

Sang pujangga itu tampak berada dalam luapan emosi. Ia berteriak keras sambil memegang erat kepala dengan kedua tangan. Rasa sedihnya semakin memuncak. Pikirannya tertekan hebat. Ia berlari kencang meninggalkan orang itu. Ia berteriak keras seperti orang tidak waras. Dan ia merasa tekanan hebat di pikiran. Tangis pun dilakukan. Banyak orang mengamatinya penuh rasa iba. Mereka seakan merasakan kepedihan yang dialami oleh pujangga itu. Tidak jarang, air mata meleleh deras membasahi pipi.

Sang pujangga duduk sambil menyandarkan punggung di dinding rumah. Ia meratapi kesedihan dirinya yang begitu dalam. Kondisinya tampak memilukan. Sekujur tubuhnya tampak kotor, penuh debu-debu. Rambutnya pun acak-acakan, penuh debu. Kedua matanya tampak bengkak. Air matanya terkuras habis. Tapi kesedihan tak kunjung menjauh darinya, bahkan semakin mendekat, semakin menyelinap lama di hatinya, lalu meruntuhkan pikiran sehatnya. 

Rasa pedih cintanya mengubah hidupnya drastis. Ia menderita karena cinta yang begitu dalam pada gadis itu. Ia teringat masa-masa indah yang terukir manis. Dan masa-masa itu tak mungkin kembali, seolah arang yang tidak bisa diubah kembali menajdi kayu. Ia mencoba kembali membangun puing-puing yang sudah runtuh. Ia teringat masa anak-anak yang penuh dengan pujian. Banyak prestasi diraih. Tapi ingatan itu hilang seketika. Dalam pikirannya hanya terisi kisah percintaan dirinya dengan gadis itu. Ia memegang erat perutnya. Rasa lapar hebat menyengat perutnya. Rasa perih pun hadir. Asam-asam lambungnya naik ke kerongkongan akibat lambung tidak terisi cukup lama, juga faktor stres sebagai pemicu.

Beberapa orang merasa iba. Dan mereka langsung memberi makanan. Mereka menaruh nasi goreng dan air mineral dalam kemasan di depannya. Sang pujangga itu langsung meraih makanan itu, lalu memakannya penuh kenikmatan. Lalu ia meneguk air putih penuh kenikmatan. 

Story By Nalis

Share this article :
Print PDF
 
Support : Nalis Theme | Nalis Design | Nalis Website
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ichwan Navis - All Rights Reserved
mastemplate
Distributed By Blogger Templates | Design By Creating Website